Dhucie93's Blog

Just another WordPress.com weblog

contoh lingkungan hidup yang kurang bersih

Kawasan Pemukiman Kumuh di Manado & Alternatif Solusi Meningkatkan Kualitas Lingkungannya

Oleh: Ir. Veronica A. Kumurur, M.Si*

 

Tulisan ini dibuat, dalam rangka memperingati “Yahre” Kota Manado ke 379 tahun pada tanggal 14 Juli 2002. “Moment” ini  sangat perlu dan penting bagi kita semua (masyarakat & pemerintah daerah) untuk melakukan refleksi tentang kondisi-kondisi fisik lingkungan perkotaannya, apakah kota Manado ini semakin menjadi kota yang layak huni dan memiliki jaminan keberlanjutannya ataukah kota kita ini sudah semakin sarat dengan pembangunan yang tak memikirkan penghuninya. Banyak ide-ide konstruktif yang dapat dilahirkan dari hasil instrospeksi yang jujur dan dilakukan dengan segenap hati dan pikiran kita sebagai warga kota ini. Kota Manado, kota yang semakin tua ini, terlihat jelas di depan mata sedang tergopoh-gopoh menampung persoalan-persoalan pemenuhan kebutuhan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Hunian dan kawasan kumuh adalah 2 hal yang  terlihat menjadi persoalan yang serius dari kota ini dan saat ini sangat memerlukan  perhatian yang lebih agar kota ini memiliki lingkungan hidup yang layak bagi masyarakatnya. Lingkungan hidup yang sehat akan menelorkan masyarakat yang memiliki generasi yang tangguh dan kuat.

 

Kawasan kumuh atau kawasan kampung kumuh selalu saja menjadi elemen yang menghiasi wajah kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan bahkan Kota Manado (kini sibuk dengan berbagai pembangunan fasilitas  berskala kota). Kawasan ini umumnya dihuni oleh para penghuni desa atau dari kota yang lebih kecil  yang sengaja berpindah/datang menetap di kota yang lebih besar untuk ikut bersama-sama di dalam kegiatan ekonomi kota. Biasanya ini merupakan dampak ikutan dari suatu perkembangan perekonomian yang begitu pesat dari suatu kota.

Kawasan kumuh atau “slump area” terjadi akibat tidak seimbangnya pertambahan jumlah perumahan yang disediakan di kota dengan pertumbuhan penduduknya. Seringkali kawasan ini dituding sebagai ancaman serius bagi sistem dan mekanisme kehidupan perkotaan, sebab terkadang kawasan yang terjadi secara spontanitas ini menjadi kawasan yang permanen dan sengaja menggunakan lahan-lahan yang seharusnya bukan untuk hunian. Terkadang pula kondisi kumuh yang bersahaja memang area yang betul-betul dihuni oleh warga  yang nyaris tak berdaya akibat terlindas oleh perkembangan suatu kota yang tak memasukkan penghuninya sebagai bagian dari perencanaan kota.  Berdasarkan  hasil studi pengamatan Yayasan Cinta Cipta Nusantara (“Pilot Project” Community-based Development Kampung Improvement Project funding by World Bank) di 2 lokasi (Kelurahan Limba U Kota Gorontalo dan Kelurahan Gogagoman Kotamobagu) dan sejalan dengan pendapat  Ir. Budi D. Sinulingga, M.Si dalam bukunya Pembangunan Kota (Tinjauan Regional dan Lokal) telah  teridentifikasi ciri dari suatu lingkungan pemukiman yang kumuh, sebagai berikut:

  1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha.
  2. Sebagian besar lokasinya berada dengan pusat kegiatan ekonomi kota. Pemikiran penghuni kawasan kumuh ini, bahwa lebih dekat dengan pasar atau pusat kegiatan ekonomi lebih baik, walaupun mereka harus berdesakan di petak-petak rumahnya.
  3. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang jalan ini sudah tersembunyi di balik atap-atap rumah yang bersinggungan satu sama lain. Selain sempit, jalan-jalan ini masih berupa jalan tanah.
  4. Fasilitas drainase tidak memadai, malahan biasanya terdapat  jalan-jalan tanpa fasilitas drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air dan bahkan mengakibatkan banjir
  5. Kondisi kualitas udara yang tidak baik (kualitas udara menurun), karena tidak adanya ruang-ruang terbuka (open space). Juga akibat tidak adanya “open space” air hujan tak dapat terserap masuk ke dalam tanah sehingga mengakibatkan kekurangan air tanah dan mengakibatkan air-air huja tersebut mengalir dengan debit yang melimpah ke saluran-saluran kota dan akhirnya mengakibatkan banjir.
  6. Pengkondisian udara di dalam rumah yang tidak baik, sehingga udara di dalam rumah tak dapat mengalir dengan baik, akibatnya akan menganggu kesehatan penghuni rumah tersebut.
  7. Tidak adanya suasana “privacy (pribadi)” bagi pemilik rumah, karena jumlah ruang di rumah tinggalnya terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penghuninya.
  8. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang ke saluran yang dekat dengan rumah. Ada juga yang langsung membuang ke sungai terdekat. Sebagian dari penghuni membuat  WC cubluk, tetapi karena lahan sangat sempit maka dibuatlah berdekatan dengan sumur dangkal yang dipergunakan sebagai air minum, sehingga terjadi pencemaran sumur dangkal sangat besar sekali.
  9. Fasilitas sumber air bersih  sangat minim, sehingga memanfaatkan air sumur dangkal yang sudah tercemar atau menampung air hujan dan bahkan membeli air bersih kalengan. Ada  juga yang terpaksa memanfaatkan air sungai yang terdekat yang sudah sangat kotor akibat buangan air kotor dari rumah-rumah penduduk.
  10. Tata bangunan yang sangat tidak teratur, umumnya bangunan-bangunan yang tidak permanen dan malahan terlihat  banyak yang dalam kondisi bangunan darurat.
  11. Pemilikan hak terhadap lahan sering ilegal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tak memilik status apa-apa.
  12.  

Kawasan Pemukiman Kumuh di Kota Manado

Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Hi-Way Indotek Konsultan bekerjasama dengan PT.Desakota Infra dengan menggunakan data Kota Manado Dalam Angka 1999 dan berdasarkan standar kriteria kepadatan penduduk  bagi kawasan pemukiman kumuh yaitu 250-400 jiwa/ha, diperoleh bahwa, pada tahun 1999 di 5 Kecamatan yang ada di Kota Manado terdapat  3 kecamatan yang mempunyai  kawasan pemukiman yang kumuh (Tabel 1). Kelurahan Titiwungen memiliki kepadatan penduduk tertinggi (597 jiwa/ha) di Kecamatan Sario, diikuti oleh Kelurahan Tanjung Batu dan Ranotanaweru masing-masing 327 jiwa/ha dan 321 jiwa/ha. Sedangkan Kelurahan Komo Luar  (626 jiwa/ha) adalah kawasan hunian yang memilik kepadatan tertinggi di Kecamatan Molas. Kelurahan Alung Banua (637 jiwa/ha) tertinggi di Kecamatan Molas, diikuti masing-masing oleh Kelurahan Ternate Baru (573 jiwa/ha), Kelurahan Karame (429 jiwa/ha), Kelurahan Sindulang I (360 jiwa/ha) , Manado Tua I (356 jiwa/ha) dan kelurahan Kampung Islam (280 jiwa/ha). Kondisi kepadatan penduduk pada tahun 1999 tentunya akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya Kota Manado menambah/membangun fasilitas-fasilitas kotanya. Kepadatan inipun meningkat karena Kota Manado semakin menjadi magnit bagi desa-desa atau bahkan kota lain yang ada disekitar Kota Manado

 

Tabel 1. Kawasan Kumuh di 3 Kecamatan di Kota Manado

Kecamatan Kelurahan Kepadatan Penduduk Bersih tahun 1999 (jiwa/ha)
Sario Ranotana Weru 321
Pakowa 264
Tanjung Batu 327
Titiwungen 597
Wenang Komo Luar 626
Mahakeret Barat 274
Lawangirung 254
Molas Karame 419
Ternate Baru 573
Sindulang I 360
Sindulang II 416
Kampung Islam 280
Alung Banua 637
Manado Tua I 356

Sumber: dimodifikasi dari tabel 3.2 Pertumbuhan Penduduk, Jumlah KK dan Kepadatan Bersih di Kota Manado tahun 1993, 1999 (Ringkasan Eksekutif Pekerjaan Master  Plan Paket Kajian Jaringan Jalan dan penyusunan Program di Kota Manado Tahun Anggaran 2000)

 

 

Keberadaan kawasan kumuh di beberapa wilayah kecamatan ini tidak saja menganggu estetika wajah Kota Manado, tetapi juga memberikan dampak negatif yang berarti bagi kondisi lingkungan hidup Kota Manado (sumberdaya alam, kesehatan masyarakat itu sendiri dan sekitarnya, dan dampak terhadap lingkungan sosial serta kenyamanan dan keamanan masyarakat itu sendiri dan masyarakat  kota umumnya)

 

Dampak Terhadap Sumberdaya Alam

Kualitas sumberdaya alam (udara, tanah dan air) menjadi masalah yang penting dan rentan akibat kehadiran kawasan kumuh.Akibat tidak adanya lahan untuk menempatkan sarana buangan sampah cair dan sampah padat (dari dapur, dan lain-lain)  serta  tinja dan limbah cair lainnya, maka dibuanglah di sungai terdekat, atau di saluran-saluran kota yang ada di sekitarnya. Bahkan hanya diserapkan di dalam tanah begitu saja, tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Akibat buangan sampah dan limbah cair ke badan sungai akan sangat menganggu keberadaan sungai/kali/kuala. Air sungai yang dapat menjadi cadangan air bersih, menjadi terganggu kualitasnya sebab sampah-sampah dan limbah cair masyarakat penghuni daerah sekitarnya masuk langsung ke dalam sungai, yang apabila dibiarkan demikian,  air sungai yang memiliki kemampuan me”recovery” (memperbaiki diri sendiri) menjadi tidak mampu lagi.

Air limbah (air kotor) yang langsung diserapkan ke dalam tanah, akan menganggu atau menurunkan kualitas kondisi air tanah. Kondisi “septic tank” (tangki tempat membuang tinja) yang memiliki sumur serapan yang tidak dibuat dengan baik akan mengakibatkan air kotor tersebut meresap ke dalam air tanah dan mencemarkan air tanah yang digunakan sebagai air bersih melalui penggalian sumur (parigi).

Kualitas udara menjadi terganggu akibat padatnya kawasan ini, nyaris tak ada lagi ruang terbuka, sebab atap dengan atap dari masing-masing rumah saling tumpang-tindih (tutup menutupi satu dengan yang lain). Tak ada lagi ventilasi sebagai sarana aliran angin yang bermanfaat untuk melakukan proses pergantian udara secara alami sehingga tidak ada udara yang bersih yang layak dihirup oleh masyarakat penghuni kawasan ini. Tentunya semua kondisi ini akan menganggu keberadaan makhluk hidup khususnya manusia yang ada di kawasan ini dan menimbulkan dampak negatif bagi Kota Manado secara keseluruhan.

 

Dampak Terhadap Lingkungan Sosial serta Keamanan dan Kenyamanan Masyarakat Kota

Lingkungan hunian merupakan tempat berlangsungnya proses hidup manusia akan sangat menentukan kualitas penghuninya.  Didalamnya ada anak-anak dan remaja-remaja yang bakal menjadi generasi muda yang menentukan nasib kemajuan suatu negara atau daerah. Kawasan hunian ini bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi juga sebagai tempat berkembangnya manusia secara baik dan berkualitas dan sebagai tempat membentuk perilaku pribadi bahkan secara kelompok.  Dengan demikian akan mempengaruhi perilakunya di dalam bermasyakat secara skala kota.Sebab lingkungan hunian ini pula yang menjadi titik yang penting dalam perubahan kondisi sosial suatu kota.

Lewis Mumford  dalam buku otobiografinya (terbitan pertama pada tahun 1982 dan saat itu beliau berumur 87 tahun) yang dirangkum oleh Peter Hall dalam bukunya Cities of Tomorrow menuliskan kembali pengalaman Mumford di kotanya “New York City”. Dalam bukunya digambarkan suatu ke”ngeri”an  masa kecil (masa menjadi anak muda) hidup di satu kawasan pemukiman kumuh dengan batas-batas pribadi yang tak boleh dilewati oleh penghuni di kawasan lain.  Area itu dapat digambarkan layaknya seperti “bisul” yang meradang, infeksi dan siap pecah setiap saat. Perang antar “gank” yang siap berkobar setiap saat. Tapi hal penting yang diceritakan oleh Mumford, bahwa kondisi ini telah mempengaruhi kehidupan kota yang tidak memungkinkan bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak saat itu, untuk setiap saat/hari  berjalan melewati Cental Park/Taman atau menyusuri tepi danau  tanpa rasa takut terhadap penganiayaan atau penyerangan yang bakal dialaminya. Betapa menakutkan situasi itu.

Di kota-kota besar di Indonesiapun seperti kota Jakarta, banyak sekali titik-titik lokasi pemukiman kumuh, ada yang bermukim di bantaran sungai Ciliwung, bermukim di bawah kolong jembatan dan mereka tinggal disitu dengan beratapkan gardus-gardus bekas. Banyak pula yang bermukim di dekat stasiun kereta api (seperti di stasiun Gambir, stasiun Manggarai), di dekat terminal-terminal, di pusat perdagangan seperti Pertokoan Senen Jakarta Pusat. Masyarakat pendatang mencari kehidupan di kota Jakarta dengan membuat rumah-rumah liar yang tak layak tinggal dan menempati kawasan-kawasan yang tidak seharusnya ditinggali. Semakin sempitnya lahan, namun semakin banyak pendatang yang akan menghuni kota Jakarta. Contoh lain lagi, di kota ini, dimana perubahan permukiman sederhana yang berlokasi dekat pasar, menjadi tempat usaha, sehingga seringkali lokasi pasar sudah berpindah masuk ke lokasi perumahan membentuk pasar kilat. Situasi semakin merangsang penghuni perumahan sederhana untuk merubah pemanfaatan rumah tinggal menjadi rumah tempat usaha, yang akhirnya model rumah menjadi berubah. Bertumpuk-tumpuk atapnya menjadi tak karuan, sempadan bangunan tak ada lagi, ruang terbuka tak ada lagi, semuanya dibangunkan ruang sebagai tempat usaha. Jumlah penghuni yang menempati rumah tinggal semakin bertambah karena saudara-saudara di kampung diajak datang, berusaha dan tinggal di kompleks permukiman ini. Jadilah kawasan ini berpenduduk yang memiliki kepadatan tinggi dan tentunya situasi ini  membawa pada kesan suatu kawasan yang kumuh. Contoh lain lagi, terjadi di  kota administratif Depok (pinngiran Kota Jakarta). Kota yang memiliki Kampus Universitas Indonesia, Kampus Universitas Gunadharma, memiliki stasiun kereta api Jabotabek, memiliki kompleks perumahan bagi masyarakat “level” menengah kebawah. Sepuluh tahun yang lalu suasana desa masih sangat terasa disini. Banyak perumahan pegawai negeri (bekas gusuran akibat pembangunan Kota Jakarta) berada disini. Namun kini tak demikian lagi, kota Depok kini sangat cepat perkembangannya. Suasana kota Depok merangsang peningkatan pembangunan kompleks hunian untuk tingkat masyarakat “the have”, sementara hunian level menengah ke bawah berubah menjadi kawasan hunian yang memiliki kesan “image” kumuh di kota Depok ini, yang dinyatakan dengan berubahnya bentuk bangunan dan penggunaan bangunannya. Bangunan-bangunan hunian sederhana berubah bentuk dan fungsi menjadi tempat-tempat usaha sehingga dengan cepat menjadi semakin padat dan terciptalah kawasan-kawasan kumuh baru. Hal ini sangat menganggu kenyamanan berjalan di kota, dimana banyak terjadi kemacetan, banyak terjadi penyempitan jalan-jalan raya akibat penggunaan badan jalan sebagai lahan usaha.

Beberapa program yang sudah dijalankan pemerintah DKI Jakarta, dengan cara membuat permukiman baru yang dapat menampung jumlah orang yang banyak pada  lahan yang kecil, membersihkan daerah bantaran sungai dan bawah jembatan dari rumah-rumah liar. Namun, ini semua tidak serta merta menghilangkan kawasan hunian kumuh di kota ini. Gemerlap kota Jakarta, dan predikatnya sebagai ibukota Indonesia, merupakan hambatan bagi penghilangan kawasan kumuh. Yang akhirnya menjadikan kawasan ini sebagai salah satu ciri suatu kota yang maju. Itulah kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia yang bukan saja memiliki bentuk-bentuk yang bisa dicontoh, tapi ada juga yang tak mesti di contoh seperti terciptanya kawasan kumuh. Tentunya kita tak mau kondisi ini ada di Kota Manado yang hanya menjadi ibukota Propinsi yang memiliki luas lahan yang tidak semuanya “flat” atau rata. Memiliki topografi berbukit-bukit, sehingga model lingkungan fisik seperti ini merupakan faktor kesulitan di dalam menata permukiman dan fasilitasnya sehingga persoalan lahan menjadi topik utama di kota ini. Namun, itulah tantangan kita sebagai perancang kota dan lingkungannya di negeri ini.

 

Pembangunan kawasan hunian baru yang manusiawi di Kota Manado

Perkembangan kawasan hunian di Kota Manado semakin pesat, dengan terlihat banyaknya kawasan-kawasan hunian yang baru yang dibangun oleh pada “developer” di Kota Manado, yang jika tidak dirancang dengan baik atau hanya berorientasikan pada “money” bukan pada “humanity” akan menghasilkan kawasan-kawasan kumuh yang baru.  Perkembangan pusat perdagangan baru memacu kecepatan bertumbuhnya kawasan kumuh di kota ini. Perkembangan hunian baru dan kawasan kumuh tak  mesti kita “terima” begitu saja, melainkan kita mesti mencari jalan keluar untuk mencegah dan mengobati sebelum semua itu mempengaruhi jalannya kehidupan kota ini atau menjadi bak “bisul” yang sakitnya meradang masuk pada sekujur tubuh.

Pembangunan kawasan hunian baru yang saat ini berlangsung di Kota Manado, yang dilakukan oleh kira-kira lebih dari 10 delevoper, yang jika diperhatikan masih pada  memikirkan keuntungan dari pada fungsi kawasan sebagai tempat berlangsungnya proses kehidupan. Lihat saja, tidak adanya ruang terbuka sebagai sarana tempat bersosialisasi, jalan yang begitu sempit yang tidak dapat dilalui oleh 2 kendaraan ditambah dengan pejalan kaki. Katanya, itulah jalan untuk kawasan hunian sangat sederhana, yang seharusnya fungsinya hanya sebagai jalan setapak. Cara ini bukan saja dibangun bagi hunian sangat sederhana tetapi juga di kawasan hunian yang sederhana sampai pada hunian yang “tidak lagi sederhana”. Tidak adanya tempat sampah di setiap rumah, hanya ada tempat sampah umum dengan posisi yang tidak tepat/tidak baik sehingga menganggu udara yang ada di kompleks hunian. Kompleks hunian yang hanya sekedar dibuat petak-petak, dan tidak memiliki fasilitas sosial yang memadai yang dapat menunjang proses kehidupan manusia-manusia penghuni kawasan ini yang sudah pasti pula kita tak ingin melihat kawasan-kawasan hunian ini berkembang menjadi kawasan kumuh yang baru.

Tentunya kita ingin melihat kawasan hunian di Kota Manado terlihat asri dan manusiawi. Asri bukan berarti hanya dapat dicapai dengan cara membayar harga material yang mahal. Asri berarti memikirkan fungsi lingkungan hidup dimana hunian itu berada, seperti memperhitungkan kondisi topografi (tinggi rendah lahannya), sistem drainase alami, memperlakukan sungai-sungai yang mengalir di dekat kawasan hunian dengan baik, bukan sebagai tempat buang sampah,  memperhatikan sistem pengisian kembali air bersih dan sirkulasi udara dengan adanya ruang-ruang terbuka. Manusiawi, berarti memikirkan proses kehidupan seperti, bersosialisasi antar penghuni baik dari anak-anak sampai pada orang dewasa, adanya sarana tempat bermain (playground) bagi anak-anak. Sesuai dengan Bab I Pasal 1, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang Permukiman dan Perumahan, dikatakan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Undang-undang ini mengharuskan pengusaha pengembang sarana hunian ini mesti mengikuti syarat perikehidupan dan penghidupan sebab itulah dasar dari membuat sarana-sarana yang manusiawi di dalam lahan permukiman.  Ini sangat penting, sehingga perlu adanya pengawasan dari instansi yang berkompeten seperti Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah di Sulawesi Utara atau di Kota Manado terhadap pengusaha-pengusaha di bidang permukiman dan perumahan.

 

Konsep Hunian Rumah Susun sebagai salah satu solusi

Proses kehidupan dirumah dan lingkungan tempat tinggalnya sangat penting didalam melanjutkan kehidupan yang normal. Mendapatkan hubungan sosial yang baik antar sesama di dalam rumah atau di luar rumah. Mendapatkan sirkulasi udara yang baik, mendapatkan air bersih di dalam kehidupannya. Ini semua tak didapati di lingkungan pemukiman kumuh, sehingga kawasan ini perlu di pulihkan kembali atau diatur kembali dengan baik sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Untuk itu perlu diadakan  suatu kawasan permukiman yang memiliki standar hunian yang dapat dinikmati  secara bersama dan dapat menampung jumlah penghuni yang banyak di atas lahan yang terbatas seperti di Kota Manado. Rumah susun yang  telah dikembangkan pemerintah daerah kota-kota besar seperti DKI Jakarta sangat berhasil baik dalam mengatasi ketersediaan lahan dan terpenuhinya fasilitas/sarana pemukiman bagi masyarakat “marginal”nya. Ini salah satu hal yang baik yang perlu dicontoh oleh daerah-daerah yang sedang berkembang menjadi kota yang besar. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah-bersama (UU-RI No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun Bab I pasal 1).

Konsep hunian rumah susun, adalah salah satu pilihan solusi untuk menampung jumlah penghuni yang banyak dengan fasilitas bersama yang memadai. Selain itupula konsep ini, bisa mengatur kembali pemandangan etalase (façade) suatu kota yang cenderung terlihat semrawut (awut-awutan) yang cenderung terlihat “tabongkar”(kacau). Tidak perlu merelokasi penduduk di kawasan kumuh kota ini, melainkan me”revitalisasi” atau memperbaiki  hunian mereka  dengan cara membentuk “blok-blok” bersama dengan model horisontal atau vertikal, dilengkapi dengan sarana air bersih dari perusahaan air  setempat, listrik yang layak dan aman, juga ruang-ruang terbuka dengan fasilitasnya yang memadai dan sesuai standar yang ditentukan. Konsep rumah susun dapat merubah menambah nilai estetika Kota Manado, karena bentuknya teratur dan rapih terlihat. Kelihatannya sudah saatnya menata kembali kawasan kumuh yang berada di 3 kawasan kumuh ini, agar tidak semakin menambah jeleknya pemandangan “wajah” fisik Kota Manado dan menjadi baik dan  semakin banyak menghasilkan generasi yang bertumbuh baik dan sehat.

Memperbaiki kondisi kampung-kampung kumuh di Kota Manado harus dilakukan secara simultan dan sinergis bukan hanya dengan melakukan kegiatan secara “partial” (perbagian tertentu) saja seperti program “Kampong Improvement Project (KIP)” seperti yang dilakukan oleh  Provincial Project Implementation Support (PPIS) yang didanai oleh World Bank. Cara itu  terkesan per bagian-bagian saja yang diperbaiki dan sudah pasti lambat penyebaran pengaruhnya di kawasan hunian kumuh lainnya dibandingkan dengan percepatan tumbuhnya kawasan lumuh yang ada di Kota Manado. Ini tidak akan menjadi hal yang sikinifikan/nyata didalam memperbaiki kualitas lingkungan kawasan kumuh. Hal yang penting dilakukan oleh pemerintah daerah kita adalaha melakukan upaya mencegah dan mengendalikan kawasan kumuh. Mencegah adanya kawasan kumuh, berarti pemerintah harus melakukan perbaikan kembali atau peremajaan kembali kawasan ini dengan cara merubah konsep dan bentuk huniannya. Untuk mengendalikan terjadinya kawasan-kawasan kumuh baru, pemerintah daerah kitapun harus melakukan penegakkan aturan-aturan pembuatan kawasan hunian baru bagi para “developer” yang ada di Manado. Pengawasan terhadap developer atau pengusaha perumahan dan permukiman apakah sudah mengikuti standar manusiawi atau masih menggunakan standar keuntungan.

Manusiawi dan asri itu tidak mesti identik dengan material yang mahal sehingga harga hunian itu menjadi mahal. Ada arsitek (perancang/disainer bangunan) disana yang dapat me”rekayasa” bentuk-bentuk hunian dengan material (optimal dan efisien) yang murah dengan kaidah-kaidah merancang yang telah dipelajarinya yang tentunya cocok untuk ditinggali makhluk hidup yang namanya manusia.

No comments yet»

Tinggalkan komentar